Description
Setelah kepulanganku yang terakhir, mata Ayah selalu merah. Seperti ufuk senja. Ada juga kulihat tebing-tebing yang curam mengeras di wajahnya. Tak ada burung-burung danau melintasi pucuk cemara dengan kicau gembira. Hanya semburat merah dan bebayang pohon yang hitam. Aku tahu, ada sakit yang tengah dibendung Ayah di jantungnya. Dan sakit itu penyebabnya, aku.
(“Anak Bunga”)
“Kau atau aku kadang tidak tahu bahwa di sebuah sudut tempat yang disebut rumah, ada anak-anak yang bercakap dengan bunga dan puisi. Mereka bayangkan bunga-bunga itu, puisi-puisi itu adalah dirinya sendiri. Kerap pula, mereka bayangkan diri mereka menjelma umang-umang yang menggerakkan dan membawa rumah itu ke mana pergi. Barangkali mereka lahir dari rahim perempuan yang sedang tidak bahagia; benih dari lelaki yang juga sedang tidak bahagia . . .”
—Fitra Yanti